Tugiyo pernah dielu-elukan. Tubuhnya bantet, senyumnya tak menyiratkan seorang pemain sepakbola. Lugu. Bahkan sebagian menganggap dia lebih layak jadi pelawak. Namun jangan sangsikan cara dia menggiring bola, dan meliuk-liuk melewati lawan. Koran negeri ini pernah serempak menyebut Tugiyo adalah “Diego Tugiyo”, atau “Maradona Purwodadi”.
Ya, Tugiyo adalah pria asal Purwodadi, Jawa Tengah, yang dibesarkan oleh seorang ayah yang ‘cuma’ penarik becak. Ibunya seorang petani. Saat kecil dulu, Tugiyo menggembalakan kambing di tanggul dekat lapangan sepakbola desanya.
Setelah menjadi legenda Semarang lewat golnya tadi, Tugiyo amblas ditelan bumi. Cedera dengkulnya membuat karirnya surut, bahkan terjun bebas. Berbulan-bulan dia hilang, kemudian sempat mencoba kembali bermain untuk sejumlah klub papan bawah, misalnya Persik Kuningan (Jabar), kisaran 2005. Namun karena ia sering cedera, akhirnya hanya klub-klub gurem yang ia singgahi, dan itu pun tidak kontinyu dari tahun ke tahun lantaran nama besarnya tenggelam oleh cedera.

Tugiyo di masa lalu. (Dok)
Lebih dari seribu orang yang menonton seleksi ini tampak antusias. Mereka bertepuk tangan setiap Tugiyo melakukan tusukan. Bahkan yel-yel pun terlontar saat ia menyarangkan gol.
Saat seleksi ini, striker lincah tersebut memang sedang bugar. Ia masih menunjukkan akselerasi mirip Maradona, sprint sekencang Gareth Bale, dan menciptakan gol dari sudut-sudut sempit bak Pipo Inzhagi. Lalu, tanpa dikomando, sebagian warga Semarang mendesak manajemen PSIS merekrut kembali Tugiyo.
Apa lacur, pria beranak dua hasil pernikahannya dengan Pipit, seorang pekerja di sebuah toko berlian di kawasan Simpanglima Semarang, ini ditolak Edy Paryono. Alasannya, PSIS membutuhkan pemain-pemain segar dan muda. Loh, apakah Tugiyo sudah tua? Apakah dia meminta gaji setinggi langit di tengah kesulitannya PSIS dalam mendanai timnya? Dua-duanya hanya butuh satu jawaban: TIDAK.
“Saya hanya rindu kembali berkaus PSIS. Lagipula keluarga saya di Semarang, dan anak-anak saya masih kecil. Tapi bila memang tidak dimaui, saya pasrah saja. Mungkin saya memang sudah dianggap tua,” tuturnya usai mendapat penolakan resmi dari PSIS, klub yang pernah dia bela hingga Korea. Pada tahun 2000, usianya baru 20 tahun. Maka, ketika melamar (kembali) ke PSIS berarti umurnya baru 28.
Sudah tak dianggap lagi PSIS, masih pula terbetik kabar bahwa sebelum melamar ke PSIS itu untuk comeback, Tugiyo sempat jualan mi ayam di rumahnya, di kawasan Manyaran, Semarang Barat. Membuka warung — dan juga membuka wartel kala ponsel belum sesemarak sekarang — adalah jenis kegiatan Tugiyo yang sangat jauh dari urusan bola dan rumput lapangan. Dia perlu melakukannya agar asap di dapurnya terus mengebul.
Hanya saja usaha warungan itu tidak lama dia kelola. Setelahnya, ia tetap kembali ke lapangan dengan melatih anak-anak di lingkungan rumahnya. Tugiyo mendirikan SSB kecil-kecilan. Kemudian dia sempat pula melatih SSB Terang Bangsa, SSB yang juga dilatih Eko Purjianto (asisten Indra Sjafri di Timnas U-19), Eko Riyadi, dan sejumlah mantan pemain PSIS.
Pada 2009, Tugiyo memulai debut barunya sebagai pelatih tim senior, dengan membesut tim sepakbola Kecamatan Bawang, Batang, Jateng, atau dua jam perjalanan dari Semarang ke arah Jakarta; serta tim U-20 di kabupaten yang sama. Ia mendapatkan lisensi C kepelatihan dari sebuah kursus yang digelar PSSI Pemprov Jateng di Magelang, September 2009. Di kecamatan tersebut Tugiyo justru mendapatkan penghargaan yang setimpal. Penduduk di sana super antusias mendukung tim, dan para orangtua pemain menyanjungnya bak pahlawan.
Dua tahun terakhir, Tugiyo bergabung dengan sebuah akademi sepakbola di Salatiga, sebagai staf pengajar, dan melakukan perjalanan Semarang-Salatiga hampir tiap hari dengan menunggang sepeda motor. Semarang-Salatiga, atau sebaliknya, berjarak 1,5 jam perjalanan. Ia mengaku tidak mendapat upah yang tinggi di kota itu, tapi di sana ia merasa nyaman.
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar