Stadion Klabat Manado nyaris ambrol pada 13 April 1999.
Penyebabnya gol Tugiyo ke jaring gawang Hendro Kartiko, menit 89. Gol
yang disaksikan 30.000 penonton di stadion, dan jutaan pasang mata
pemirsa TVRI inilah yang menorehkan sejarah. PSIS menjuarai Ligina V,
dan menyudahi perlawanan Persebaya.
Tugiyo pernah dielu-elukan. Tubuhnya bantet, senyumnya tak menyiratkan
seorang pemain sepakbola. Lugu. Bahkan sebagian menganggap dia lebih
layak jadi pelawak. Namun jangan sangsikan cara dia menggiring bola, dan
meliuk-liuk melewati lawan. Koran negeri ini pernah serempak menyebut
Tugiyo adalah “Diego Tugiyo”, atau “Maradona Purwodadi”.
Ya, Tugiyo adalah pria asal Purwodadi, Jawa Tengah, yang dibesarkan oleh
seorang ayah yang ‘cuma’ penarik becak. Ibunya seorang petani. Saat
kecil dulu, Tugiyo menggembalakan kambing di tanggul dekat lapangan
sepakbola desanya.
Setelah menjadi legenda Semarang lewat golnya tadi, Tugiyo amblas
ditelan bumi. Cedera dengkulnya membuat karirnya surut, bahkan terjun
bebas. Berbulan-bulan dia hilang, kemudian sempat mencoba kembali
bermain untuk sejumlah klub papan bawah, misalnya Persik Kuningan
(Jabar), kisaran 2005. Namun karena ia sering cedera, akhirnya hanya
klub-klub gurem yang ia singgahi, dan itu pun tidak kontinyu dari tahun
ke tahun lantaran nama besarnya tenggelam oleh cedera.
Pada Maret 2008, Tugiyo muncul di Stadion Jatidiri. Sore itu digelar
seleksi pemain PSIS, di bawah pengawasan pelatih Edy Paryono, pelatih
yang membawa PSIS juara Ligina V, dan mengusung tim Mahesa Jenar ke
kandang Suwon Samsung Bluewings dalam Piala Champion Asia. Dan meski
PSIS dibekuk Suwon 2-3 di Jatidiri, dan 2-6 di World Cup Stadium, Suwon,
Korea Selatan, tetapi Tugiyo menyumbangkan tiga gol dalam dua
perjumpaan dengan Suwon tersebut.
Lebih dari seribu orang yang menonton seleksi ini tampak antusias.
Mereka bertepuk tangan setiap Tugiyo melakukan tusukan. Bahkan yel-yel
pun terlontar saat ia menyarangkan gol.
Saat seleksi ini, striker lincah tersebut memang sedang bugar. Ia masih
menunjukkan akselerasi mirip Maradona, sprint sekencang Gareth Bale, dan
menciptakan gol dari sudut-sudut sempit bak Pipo Inzhagi. Lalu, tanpa
dikomando, sebagian warga Semarang mendesak manajemen PSIS merekrut
kembali Tugiyo.
Apa lacur, pria beranak dua hasil pernikahannya dengan Pipit, seorang
pekerja di sebuah toko berlian di kawasan Simpanglima Semarang, ini
ditolak Edy Paryono. Alasannya, PSIS membutuhkan pemain-pemain segar dan
muda. Loh, apakah Tugiyo sudah tua? Apakah dia meminta gaji setinggi
langit di tengah kesulitannya PSIS dalam mendanai timnya? Dua-duanya
hanya butuh satu jawaban: TIDAK.
“Saya hanya rindu kembali berkaus PSIS. Lagipula keluarga saya di
Semarang, dan anak-anak saya masih kecil. Tapi bila memang tidak dimaui,
saya pasrah saja. Mungkin saya memang sudah dianggap tua,” tuturnya
usai mendapat penolakan resmi dari PSIS, klub yang pernah dia bela
hingga Korea. Pada tahun 2000, usianya baru 20 tahun. Maka, ketika
melamar (kembali) ke PSIS berarti umurnya baru 28.
Sudah tak dianggap lagi PSIS, masih pula terbetik kabar bahwa sebelum
melamar ke PSIS itu untuk comeback, Tugiyo sempat jualan mi ayam di
rumahnya, di kawasan Manyaran, Semarang Barat. Membuka warung — dan juga
membuka wartel kala ponsel belum sesemarak sekarang — adalah jenis
kegiatan Tugiyo yang sangat jauh dari urusan bola dan rumput lapangan.
Dia perlu melakukannya agar asap di dapurnya terus mengebul.
Hanya saja usaha warungan itu tidak lama dia kelola. Setelahnya, ia
tetap kembali ke lapangan dengan melatih anak-anak di lingkungan
rumahnya. Tugiyo mendirikan SSB kecil-kecilan. Kemudian dia sempat pula
melatih SSB Terang Bangsa, SSB yang juga dilatih Eko Purjianto (asisten
Indra Sjafri di Timnas U-19), Eko Riyadi, dan sejumlah mantan pemain
PSIS.
Pada 2009, Tugiyo memulai debut barunya sebagai pelatih tim senior,
dengan membesut tim sepakbola Kecamatan Bawang, Batang, Jateng, atau dua
jam perjalanan dari Semarang ke arah Jakarta; serta tim U-20 di
kabupaten yang sama. Ia mendapatkan lisensi C kepelatihan dari sebuah
kursus yang digelar PSSI Pemprov Jateng di Magelang, September 2009. Di
kecamatan tersebut Tugiyo justru mendapatkan penghargaan yang setimpal.
Penduduk di sana super antusias mendukung tim, dan para orangtua pemain
menyanjungnya bak pahlawan.
Dua tahun terakhir, Tugiyo bergabung dengan sebuah akademi sepakbola di
Salatiga, sebagai staf pengajar, dan melakukan perjalanan
Semarang-Salatiga hampir tiap hari dengan menunggang sepeda motor.
Semarang-Salatiga, atau sebaliknya, berjarak 1,5 jam perjalanan. Ia
mengaku tidak mendapat upah yang tinggi di kota itu, tapi di sana ia
merasa nyaman.
www.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar